5,254 total views, 3 views today
DELIK-HUKUM.ID (DEPOK) — Perwira polisi atas nama MRF dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a.
Sebelum membacakan amar tuntutan MRF, jaksa penuntut umum (JPU) Muhamad Nur Ajie memaparkan sejumlah pertimbangan, hal memberatkan serta hal meringankan terdakwa MRF.
Hal memberatkan yakni, akibat perbuatan terdakwa saksi RFBNMP mengalami memar-memar pada wajah, dada, punggung, anggota gerak atas dan bawah serta luka-luka lecet pada kepala, dan tangan kanan akibat kekerasan tumpul. Pada pemeriksaan telinga didapatkan kemerahan pada daun telinga akibat kekerasan tumpul. Luka-luka tersebut menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan/jabatan dan pencaharian untuk sementara waktu. Pada pemeriksaan psikologi didapatkan adanya trauma paska kejadian.
Akibat perbuatan terdakwa menyebabkan saksi korban mengalami pendarahan serta keguguran anak keduanya. Terdakwa merupakan anggota kepolisian yang seharusnya menyayangi, mengayomi, dan melindungi istrinya yaitu saksi korban RFBNMP, bukan malah melakukan tindakan KDRT, dan belum adanya perdamaian.
Sementara, hal yang meringankan, kata JPU, terdakwa belum pernah dihukum.
“Menyatakan terdakwa MRF terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, sebagaimana diatur dan diancam Pasal 44 ayat (2) jo Pasal 5 huruf a UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT),” kata Muhamad Nur Ajie, Rabu, 20 Maret 2024.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa MRF dengan pidana penjara selama 6 tahun, dikurangi terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah tetap ditahan,” sambungnya.
Terpisah, penasihat hukum RFBNMP dari Law Firm JARZ & CO, Renna A Zulhasril (Rere) menuturkan, bahwa perilaku terdakwa sewaktu menjadi anggota Polri memiliki sejumlah catatan buruk. “Misalnya, kepemilikan alkohol ilegal yang bertanda barang bukti, narkoba dan disersi selama menjadi anggota Polri berpangkat AKP,” katanya di lingkungan PN Depok.
Penasehat Hukum Korban juga mengatakan : “Tuntutan JPU masih belum memenuhi keadilan bagi korban yang telah kehilangan martabatnya sebagai perempuan serta telah kehilangan Janin dari perbuatan sadis pelaku KDRT MRF, seharusnya Tuntutan JPU itu 7 tahun atau 8 tahun mengingat perbuatan terdakwa kepada korban telah melakukan KDRT berulang-ulang selama pernikahan 2,5 tahun.”
Majelis Hakim menetapkan sidang lanjutan pada tanggal 25 Maret 2024 dengan agenda pledoi (pembelaan) dari PH terdakwa, serta agenda Replik pada tanggal 27 Maret 2024 oleh JPU.
Sementara, kuasa hukum korban RF dari Law Firm JARZ & CO, yang terdiri dari Renna A Zulhasril, Jelita P Wijaya, Dinda Anasthasia, Erna Ebtariyani dan M Farid mengatakan, perbuatan KDRT yang dilakukan terdakwa MRF telah berulang kali. Bahkan, semenjak sebelum dilangsungkannya pernikahan.
Puncak KDRT terparah, katanya, terjadi pada 3 Juli 2023 di ruang kerja terdakwa MRF, dimana korban RF dianiaya di depan anak korban RF yang berusia 2 tahun hingga luka berat dan mengakibatkan keguguran.
“Dengan perbuatan itu seharusnya terdakwa dijerat dengan Pasal berlapis, seperti Pasal 76 B dan Pasal 77 B UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bukan hanya Pasal KDRT aja,” ucapnya.
Perlu diketahui, selain terkait dengan urusan pidana, terdakwa ini memiliki track record buruk selama menjadi anggota Polri. terdakwa sudah melaksanakan sidang kode etik pada tanggal 1 Desember dan komisi etik menjatuhkan vonis PTDH, namun terdakwa mengajukan banding, akan tetapi sampai saat ini belum ada kelanjutan mengenai hal tersebut.
Disini kuasa Hukum dari Korban kecewa, karena meskipun MRF seorang perwira, proses PTDH nya harus tetap berjalan dan seharusnya pihak komisi etik dan DIVKUM Polri tidak boleh membeda bedakan dengan anggota Polri lain yang bermasalah, notabene nya ‘bukan perwira’ dan seorang perwira yg sudah memiliki catatan dan bermasalah dengan hukum pidana harus tetap di proses tanpa membeda bedakan.
Sudah jelas terdakwa dituntut selama 6 tahun penjara dan melanggar Perpol, Menurut Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 dan terbukti melanggar kode etik sesuai dengan Pasal 13 huruf M Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri yang berbunyi, setiap pejabat Polri di dalam etika berkepribadian dilarang melakukan tindakan kekerasan, berlaku kasar, dan tidak patut. (TEAM DH Depok)
