1,132 total views, 3 views today
Depok, DELIK – HUKUM.ID- Salah satu pemilik dan ahli waris tanah kampung Bojong-Bojong Malaka, Ibrahim bin Jungkir (90), menceritakan nasib buruk para penggarap tanah yang berdampak akibat tindakan penertiban lahan yang dilaksanakan oleh Tim Terpadu Penertiban Lahan untuk Proyek Strategis Nasional Kampus UIII.
“Bahkan, apa yang dialami oleh para penggarap saat ini belum seberapa dibandingkan dengan penderitaan masyarakat Kampung Bojong-Bojong Malaka saat mereka mempertahankan tanah milik mereka dari tindakan aparat pemerintah orde baru,” ungkap Ibrahim, kepada pewarta Senin (7/8/2023).
Ia menyebutkan, Ahwa para penggarap sekarang cuma disuruh pergi dari lokasi tanah, dikasih duit lagi. Kalau kami dahulu, sudah diusir, digebukin, ditangkap, diaiksa bahkan ada yang dibunuh” Kenang pria lanjut usia yang masih nampak segar bugar ini.
“Jadi, saya dan kawan-kawan ditangkap, dibawa ke kecamatan, terus di ceburin di Rawa Kalong. Selama tiga bulan kami disiksa dengan cara direndam di Rawa Kalong,” ucap lelaki kelahiran tahun 1931 ini.
Cerita Ibrahim Bin Jungkir diamini oleh Yusup Riyadi, bahwa Ibrahim Bin Jungkir termasuk tokoh di Kampung Bojong-Bojong Malaka dan pentolan dari kelompok Barisan Tani Indonesia (BTI).
“Artinya, saya tahu pak Ibo (sebutan untuk Ibrahim bin Jungkir) salah satu pentolan BTI. Jadi, dia paling banyak mengalami penyiksaan. Saya lihat setiap sore pak Ibo digiring ke Rawa Kalong terus direndam disana,” ketus Yusup mengenang masa lalu.
Ia juga mengaku, bahwa dirinya sering mengantar air minum oleh ibunya untuk diberikan kepada orang-orang yang direndam di Rawa Kalong. “Saya sering disuruh ibu saya ngantar air minum buat mereka. Tapi ngumpet-ngumpet. Kalau ketahuan penjaga pasti ngga bisa soalnya mereka dilarang di besuk,” pungkas Yusup.
Begitu juga dengan Syapiih (80), membenarkan pernyataan Ibrahim dan Yusup, bahwa benar peristiwa penangkapan dan penyiksaan orang-orang Bojong benar terjadi. “Bahkan bapak saya sempat mau ditangkap dan disiksa di Rawa Kalong. Tapi saya berhasil menyelamatkan bapak saya karena bapak saya orang NU bukan dari kelompok BTI,” tutur Syapi’ih.
Syapi’ih dan yang lainya mengeluhkan penderitaan para penggarap yang saat ini dipaksa keluar dari lokasi tanah tersebut tidak masuk akal. “Mengapa mereka mengeluh dan terus melawan, emang mereka punya surat? Orang-orang itu (para penggarap. Red) kan bukan pemilik tanah itu. Mengapa mereka menolak keluar?, Jadi, kalau orang Bojong pantas melawan karena tanah itu punya orang bojong. Tanah itu warisan orang tua kami yang dirampas RRI,” tandas Syapi’ih.
Sementara itu Ketua LSM Koalisi Rakyat Anti Mafia Tanah (KRAMAT), Yoyo Effendi, selaku kuasa ahli waris pemilik tanah bekas hak milik adat, menjelaskan , bahwa peristiwa penertiban tanah Bojong yang dilakukan oleh aparat pemerintah dengan pandangan objektif.
“Saya sih memandangnya dari kacamata objektifitas hukum. Yang menjadi objek penertiban, kan orang-orang yang tidak jelas kedudukan hukumnya. Mereka datang dari luar Depok lalu masuk dan menduduki tanah itu dengan alasan menduduki tanah negara. Padahal tanah itu statusnya bukan tanah negara tapi tanah bekas hak milik adat yang saat ini jatuh kepada ahli warisnya,” ujar Yoyo.
Yoyo menegaskan, bahwa, para penggarap itu kedudukannya sebagai penyerobot tanah orang. Sama dengan RRI, tanah punya masyarakat diakui lalu dibikin sertifikat. “Artinya, penggarap maupun RRI sama-sama Mafia tanah,” tegas inisiator dan penggagas sistem mencoblos dengan KTP dan KK saat dia menjabat Komisioner KPU Depok itu.
Seperti diketahui dan telah diberitakan sejumlah media bahkan menjadi viral, UIII mengerahkan Tim Terpadu Penertiban Lahan UIII yang terdiri dari kepolisian, tentara dan satpol PP untuk memaksa para penggarap tanah itu keluar dari lokasi tanah tersebut. Mereka diperintahkan keluar dari lokasi tanah setelah diberikan uang kerohiman. Namun para penggarap tersebut enggan keluar dari lokasi tanah dan berusaha memberikan perlawanan dengan menuduh tindakan aparat melanggar hak asasi manusia. Para penggarap menggunakan Lembaga Bantuan Hukum dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai alat untuk mempertahankan kedudukan mereka di tanah tersebut.(MUL/JON)